Memahami dan menyadari bahwa menulis itu bukan cuma sekedar mengungkapkan ide, pikiran, gagasan dan pelepasan emosional melalui berita, liputan atau investigasi maupun opini, tetapi juga sebagai terapy psikologis, menjaga diri agar tetap obyektif, jujur dan berani serta agar tidak pikun memasuki usia senja.
Itulah sebab diusia pensiun seorang kawan penulis justru semakin produktif dan semangat mengikuti berbagai aktivitas yang membuka banyak peluang kemungkinan baginya untuk menulis, tidak hanya sebatas pemberitaan, laporan liputan arau bahkan ide buat sebuah opini atau esai yang mungkin bisa muncul seketika atau baru beberapa hari kemudian.
Mulanya menulis itu bagi kawan saya ini sekedar untuk mengisi waktu senggang semasa remaja. Karena dia memang tidak terlalu suka bermain atau olah raga seperti umumnya remaja yang lain.
Karya fiksinya pun sejak remaja sudah lumayan bejibun jumlahnya. Apalagi yang namanya puisi, sudah pernah menghias sejumlah media nasional, meski dirinya sendiri tidak begitu perduli untuk disebut penyair nasional. Bahkan beberapa buah karangannya juga sesekali ikut terpacak pada media massa di negara tetangga.
Sehingga dari pergaulan antar bangsa itu dia memahami bahwa penulis atau sastrawan dari negara tetangga itu mendapat insentif khusus dari pemerintah atas rutinitasnya berkarya, sehingga bisa memenuhi keperluan hidup bersama keluarga.
Meski begitu, toh dia tidak pernah menyesal menjadi penulis di negeri yang belum bisa memberi insentif seperti di negeri orang itu. Setidaknya, nyaris setengah abad sudah profesi tulis menulis telah dia tekuni sampai sekarang, sehingga banyak sahabat dan kerabatnya yang terheran-heran, kok belum juga pensiun.
Justru pilihan sikap tak hendak mengenal istilah pensiun ini bagi dirinya sebagai suatu keunikan yang semakin memperkuat sikap dan pilihannya sebagai bagian dari cara hidup untuk menikmati karunia Allah yang sesungguhnya tak pernah berhenti, hingga memberi kesadaran serta pemahaman bahwa setiap saat — sebagai makhluk Tuhan — manusia pantas terus bersyukur atas segenap nikmat yang telah Dia berikan.
Pengalaman spiritual yang bersifat pribadi serupa ini, katanya menang tidak mungkin dialami oleh setiap orang. Seperti banyak pengalaman spiritual mereka yang lain itu, yang mungkin tidak juga pernah kita alami, katanya berkisah pada suatu kesempatan. Begitu juga dalam proses menulis — apa saja bentuk dan jenisnya karya tulis itu — katanya pada kesempatan yang lain, seperti memiliki atau mendatangkan suasana yang khusus, sehingga saat memperoleh ide atau gagasan tidak kalah cepat dengan menuangkan ide atau gagasan itu dalam bentuk tulisan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Dia pun mengakui tak jarang menemu kesulitan dalam menuangkan ide atau gagasannya itu dalam bentuk tulisan. Namun bersama dengan proses perjalanan waktu, realitasnya pun dalam pengalaman proses kreatifnya telah menemukan cara melewati jalan yang sulit itu dengan mudah dan gampang.
Dari perjalanan kreatif tulis menulis ini juga, dia mengakui telah menemukan sejumlah pengalaman spiritual lainnya. Setidaknya, menulis itu dapat dijadikan semacam terapy psikologis agar tidak pikun dan tidak gampang menjadi manusia pelupa. Tapi yang tidak kalah penting dari itu semua adalah kemampuan yang baik untuk terus mengendalikan diri agar tidak egoistik, dan mau lebih banyak untuk mendengar dibanding hasrat atau nafsu untuk berbicara seperti kebanyakan orang yang justru tidak hendak belajar pula untuk mendengar.
Hasrat untuk lebih banyak berbicara ini ketimbang hasrat untuk mendengar apa yang hendak dikatakan oleh orang lain, menurut dia adalah semacam penyakit umum bawaan hampir semua orang. Jadi dalam proses kesadaran serta pemahaman seperti itu, upaya untuk dapat mengendalikan diri mendapat peluang dan ruang yang luas bagi seorang penulis ketimbang seorang analis yang suka berbicara panjang lebar hingga untuk masalah-masalah yang remeh temeh juga.
Sinkronisasi dari pilihan sikap serta sifat bawaan bagi seorang penulis, memang tak perlu banyak omong jika sungguh ingin lebih banyak melahirkan karya tulis. Karena itu habitat penulisan pun, harus bebas tiada kekangan dari model atau jenis tulisan yang mungkin bisa dihasilkan untuk kemudian dapat menjadi konsumsi orang banyak.
Tak terlalu penting apakah tulisan yang bisa disuguhkan kepada publik itu sebatas informasi (berita saja), atau semacam laporan investigasi reporting yang dilengkapi dengan sedikit analisis serta fakta dan referensi seperlunya yang dibutuhkan, sehingga sajiannya enak dan perlu seperti semboyan jurnalis yang pernah berkibar-kibar mazhabnya di Indonesia. Tentu saja pada era milenial sekarang ini, semboyannya insan pers online adakah lebih cepat, lebih akurat pasti menjadi pemikat banyaknya peminat.
Pendek kata, kata kawan kita ini meyakinkan bahwa menulis itu adalah upaya terbaik untuk menjaga akal sehat. Sebab hanya dengan mempublish semua bentuk dan jenis kelamin tulisan yang mampu kita buat dan kita publikasikan untuk menjadi konsumsi masyarakat umum, maka mulai dari cara berpikir hingga isi pemikiran yang kita sajikan itu akan dinilai oleh orang banyak. Sehingga sikap subyektif diri kita pun dapat terjaga.
Kalau pun ada penulis lain yang mengatakan bahwa menulis itu gampang, tentu dapat dipahami sebagai upaya untuk sekedar memprovokasi mereka yang angot dan segan untuk menulis. Padahal, mulai dari memilih kalimat ungkap yang terbaik dan jitu, sehingga bisa keterima oleh beragam kalangan pembaca yang beraneka latar belakang dan suka cita selera bahasanya, terlalu gegabah untuk dikatakan sangat gampang. Realitasnya toh, tidak semua mereka yang pandai berbicara cas cis cus untuk banyak hal itu, tidak juga cukup memadai untuk menguraikan pokok-pokok pemikirannya dalam bentuk tulisan. Jika tidak, mana mungkin hoax di media online bisa merajalela dan amat sangat meresahkan mereka yang terbilang cerdik pandai dan kaum intelektual di Indonesia.
Begitulah realitasnya, kata kawan saya yang sudah menekuni profesi tulis menulis sejak masa remaja sampai hari ini, di penghujung senja usianya. Karena dia memang sudah bertekad untuk tidak pernah pensiun sebagai penulis. Lagian, kalaupun harus pensiun, siapa yang mau membayar tunjangan dan jaminan hidupnya bersama keluarga. (***)
Tangsel, 17 Juli 2023